-->

Monday, July 1, 2019

Romantika (di)Lokasi KKN



Muhklis  sibuk mengepak pakaiannya. Karibku itu sibuk berbenah. Sebagian dimasukkan-nya dalam kantong kresek. Sambil menatapku nyengir: “tak ada tas, kantong kresek pun jadi”. Kali ini, ia harus meninggalkan profesinya sebagai tukang servis elektronik. Keahlian yang sebenarnya otodidak. Pelanggannya rerata tetangga kos. Dari sekian barang elektronik yang rusak, bila ditangani Mukhlis rusaknya bisa bertambah. Kalaupun dapat dipulihkan kondisinya pasti sudah tidak utuh lagi. Saat diprotes, biasanya dengan santai ia menjawab: “yang penting masih bisa dipakai, hehehe”.

Saya sebenarnya khawatir, seandainya ilmu servis-nya dipakai dilokasi KKN. Tidak soal sekiranya ia pernah di STM. Masalahnya ia hanya improvisasi dengan obeng. Alasannya sederhana, kalau benda elektronik memiliki baut, pastilah bisa dibuka dengan obeng. Benar. Tapi saat dilihatnya kabel-kabel mengerut, begitu pula keningnya. Walhasil, korslet.

Sekitar Oktober, 2003. Kami memasuki babak akhir dari perjalanan Mahasiswa. Masih ada tahapan yang akan kami lalui, KKN. Singkatan dari Kuliah Kerja Nyata. Beberapa diantaranya mulai bergerilya untuk memilih lokasi dan teman satu posko. Saya memilih pasif. Bagi saya siapapun itu pasti asyik. Namun ada juga rasa penyesalan. Itu saat saya melihat personil posko diterbitkan. Satu nama yang bisa membuat tidur tak nyenyak, Nizar. Bukan tak suka orangnya, cuma bad-mood. Sulit diatur, apalagi kalau sudah mengoceh. Untungnya ia hafal π΅π‘Žπ‘Ÿπ‘§π‘Žπ‘›π‘—π‘–.

Personil kami terdiri dari enam orang. 3 lelaki dan 3 perempuan. mirip perjodohan saja, berpasangan. Untung saja diantara kami tidak ada keterikatan rasa khusus itu. Sebelum menuju ke lokasi KKN, para personil berkumpul. Tiga gadis di depanku tampak tegang. Mungkin mereka khawatir, dua bulan bisa saja mengubah perasaan kami. Apalagi saat saya ber-kelakar, Nizar tengah mencari jodoh. Mereka terlihat mawas diri. Mereka agak lega saat saya bertitah: “Saya tegaskan, personil KKN tidak boleh terlibat π‘π‘–π‘›π‘™π‘œπ‘˜ (cinta lokasi). Baik sesama personil, maupun selainnya”. Serentak : “siap, pak Kordes”.

Lokasi KKN pun masih di palopo, Desa Murante. Kami dibagi dalam dua tim. Slot kami ada di sisi selatan. Yang kedua, di sisi utara Palopo, Telluwanua. Kala itu Palopo masih kota administratif. Lalu tersekat pemekaran, imbas desentralisasi. Palopo di tahun itu, dihadapkan pada dua pilihan. Menjadi kota otonom atau menjadi kecamatan dari kabupaten Luwu.

Tepat ditahun 2005, Palopo resmi menjadi kota otonom. Tahun 2006, Ibukota Kabupaten Luwu bergeser ke Belopa. Sebelumnya Luwu Utara, lebih dulu memekarkan diri di tahun 2000 dan selanjutnya meng-inisiasi mekarnya Luwu Timur. Meski tersekat administrasi, masih ada ekpektasi yang begitu tinggi untuk mendirikan Propinsi Luwu Raya. Mimpi yang sekarang masih sulit untuk diwujudkan.

Luwu memiliki sejarah panjang peradaban. Konon nama daerah Sulawesi juga berakar dari daerah ini. Orang portugis-lah yang pertama menyebut 𝑠𝑒𝑙𝑒𝑏𝑒𝑠 (𝑠𝑒𝑙𝑒’ 𝑏𝑒𝑠𝑠𝑖) atau π‘ π‘’π‘™π‘Ž’𝑀𝑒𝑠𝑠𝑖 (tukar Besi). Itu karena kualitas besi Sulawesi, terutama di Luwu yang terbaik. Kerajaan Luwu juga dipercaya sebagai salahsatu kerajaan paling tertua, disusul Kerajaan Gowa-Tallo dan Bone. Kisah peradaban masyarakatnya, terekam dengan apik dalam epos π‘ π‘’π‘Ÿπ‘’π‘” 𝐼 πΏπ‘Žπ‘”π‘Žπ‘™π‘–π‘”π‘œ. Kitab sastra terpanjang di dunia. Masih ada yang percaya sebagai kitab suci, namun lebih banyak yang menganggapnya fiksi.

Setelah pelepasan peserta KKN. Kami digiring ke kantor kecamatan sebagai tempat transit. Mendengarkan sedikit remah-remah seremonial. Saya yang sedikit risih dengan formalitas, memilih kursi di pojok. Tujuannya sederhana, ingin segera menuju lokasi. Setelah kurang puas menikmati acara remah-remah, akhirnya rombongan kami bergerak juga ke posko.

Tiba di pekarangan rumah Kepala Desa, kami disambut hangat oleh istrinya yang ramah. Setelah dipersilahkan masuk. Saya sebagai Kordes memperkenalkan anggota KKN. “Ini teman-teman saya, yang laki-laki Mukhlis dan Nizar. Tiga gadis itu, Lastri, Odah dan Nawar”. Kami dipersilahkan mengepak kamar yang disiapkan. Kepada Nizar saya berkata; “hati-hati ko Nizar, jangan sampai salah kamar”. Nizar : “Ndak apa-apa ji kah kalau tidak disengaja”. Saya: “asal jangan sering tidak sengaja”. Mukhlis: “ Hehehe”.

Hari berlalu, detik jam bertaut. Kami sudah ber-adaptasi dengan lokasi KKN. Fokus kami lebih kepada pengembangan SDM. Berusaha menerapkan pengetahuan dan keterampilan kami. Suatu waktu, kipas angin di posko tidak berfungsi. Kulihat Mukhlis mulai gelisah. Ia menatapku, : “ada obeng kah?. Dan kekhawatiran saya menjadi kenyataan. Korslet.

Ke arah barat dari posko kami, ada Desa Latuppa. Di sana ada posko juga. Kadangkala kami anjangsana ke lokasi tersebut. Perjalanan menyusuri latuppa mengasyikkan. Bersisian dengan sungai yang menjadi sumber kebutuhan air di Kota Palopo. Tempat ini, selalu ramai berdatangan masyarakat untuk rekreasi. Semakin ke ujung kita dapat menyaksikan air terjun yang bertingkat-tingkat. Airnya segar menyejukkan. Dikarenakan penambangan liar, air sungai Latuppa mulai tercemar. Terdengar juga informasi, bahwa tak lama ekplorasi akan dilakukan oleh perusahaan tambang asal Korea.

Kami juga sering bertemu kepala Desa Kambo, Lahmuddin. Seorang alumni di Kampus. Saya cukup akrab dengan beliau, mungkin karena waktu itu kami memiliki keterikan emosional yang mirip. Masih jomblo. Ia sering datang ke Posko saya, dan bercerita apa saja. Ternyata di kemudian hari baru ku ketahui, ini hanya modus. Diam-diam dia jatuh hati dengan salahsatu gadis di Posko. Ku pikir ia hanya iseng. Ternyata benar, ia meminangnya setelah selesai KKN.

Suatu malam. Hasrul datang ke Posko. Ia sedikit tergopoh-gopoh, memperlihatkan kepada saya dokumen penting. Ada masalah di Kampus. Setelah kupelajari dengan seksama. Kuputuskan kita perlu melakukan demonstrasi. 10 November, keesokan hari selepas salat isya, bersama Mukhlis saya menuju Telluwanua. Tujuannya untuk memperlihatkan kepada sohib, Jalil dan Hadi. Perihal dokumen tersebut. Seraya menggagas konsolidasi gerakan aksi di Kampus. Setelah bertemu dan berdiskusi, kami sepakat melakukan aksi. KKN bukanlah halangan. Menjelang tengah malam, kamipun pamit kembali ke posko. Jalil mengantar kami sampai di pekarangan. Kepada saya, sambil menepuk pundak Jalil berkata: “Sabar ki kawan”. Saya: “Maksudnya?. Jalil: “Hati-hati di Jalan, jangan membalap”. Ok.

Mengendarai motor pinjaman. Kami menyusuri jalan pulang. Suara motor berisik dengan knalpot bising. Tepat di depan Taman Makam Pahlawan, kendaraan kami dihentikan oleh rombongan berseragam loreng. Seorang tentara menghampiri kami, mengambil paksa kunci motor. “Plaakkkk”. Tetiba pandangan mata saya berkunang-kunang. Sedikit oleng, sambil mengusap pipi yang memerah. “Kalian memang tidak pernah menghargai jasa Pahlawan”. Sembari memuntahkan liur ber-aroma π΅π‘Žπ‘™π‘™π‘œ’. Jadilah kami berdua pesakitan sidang jalanan. Selesai upacara barulah kami diperbolehkan pulang. Kartu mahasiswa kami disandera sebagai jaminan. Kepada Mukhlis saya berkata: “mungkin mau na koleksi kartu nama-ta”. Mukhlis: “hehehe”.

Aksi itupun terjadi. Pihak Kampus terlihat panik. Salah seorang Dosen berusaha mencegah  saya orasi. Silih berganti kami menuntut penyelesaian masalah. Kali ini kami punya bukti yang kuat untuk menggugat. Masalah itu kemudian melebar. BPK campur tangan. Kami dipertemukan dengan kontraktor yang kesulitan menjelaskan alasannya. Dikemudian hari, kontraktor tersebut pernah menjabat Bupati dan anggota DPR-RI.

Setelah genap dua bulan. Tangis haru menggelayut dalam jiwa kami. Akhirnya kami harus berpamitan dengan ibu Desa yang ramah dan perhatian. Kepala Desa yang selalu mendukung kegiatan kami. Kepadanya kami titipkan foto kenangan. Sebagai sebuah ingatan akan waktu kami bersama mereka. Saat melepas kepergian kami, seorang gadis desa menatapku sayu, dan berkata: “aku akan selalu mengingatmu, jejak itu akan selalu membayangimu”. Ngenas.

Muhammad Syahudin.

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner